Rencana Akuisisi Pgn Oleh Pertamina Seiring proses akuisisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) oleh PT Pertamina yang dikelilingi dengan nama holding energi, pernyataan ini muncul sebagai pertimbangan yang dibahas oleh sejumlah pihak. Ekonom Dradjad H. Wibowo, Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) Badan Intelejen Negara, menyatakan bahwa rencana ini harus ditinjau ulang. Menurutnya, skema ini dianggap perlu ditinjau ulang karena mengalami dampak negatif terhadap bisnis migas secara keseluruhan, terutama dalam kondisi ekonomi yang sengaja berangsur-angsur jatuh.
Dradjad mengemukakan bahwa rencana merger dan akuisisi biasanya dilakukan pada saat harga jatuh, terutama di sektor yang sangat padat modal seperti migas. Sebagai suatu bagian dari kebijakan yang membutuhkan kebijakan pengelolaan terdapat keterbatasan dana bagi pelaku bisnis besar yang terbukti mengalami kesulitan likuiditas atau solvabilitas. Dalam kaitan tersebut, sejumlah pemain pasar yang mengalami kesulitan secara ekonomi terutama dalam skala besar. Menurut Dradjad, dalam kondisi ini, mergear atau akuisisi menjadi solusi utama yang dijadikan keputusan kunci.
Ketika harga turun, sektor migas membutuhkan pelatihan pengelolaan modal yang berbeda dengan kebutuhan bisnis yang lebih besar. Ekonom ini menjelaskan bahwa secara khusus, meskipun rencana merger pada tahun 2014 telah ditingkatkan, hasilnya justru meredam perusahaan yang ingin mengalami pertumbuhan ekonomi dengan sinergi yang signifikan. Mengawasi bahwa harga jatuh tidak berarti skema merger lebih efektif. Dari penjelasan Dradjad, sejak 2014, justru terdapat penurunan skema merger dan akuisisi. Ini dikarenakan perusahaan migas harus memastikan apakah hasil penggabungan akan menciptakan sinergi operasional yang mengurangi biaya secara signifikan.
Baca Juga:
Menurut Dradjad, saat ini kebijakan utama dalam pengambilan keputusan adalah efisiensi. Namun dalam kasus Pertamina dan PGN, faktanya kondisi likuiditas dan solvabilitas perusahaan PGN lebih baik, sehingga tidak perlu ditinjau ulang dari aspek kebutuhan utama perusahaan. Dalam konteks ini, sebenarnya alasan menggabung pertamina dan PGN justru menjadi salah satu permasalahan. Karena pemerintah telah mengubah rencana holding dari awalnya menjadi holding energi, yang sebenarnya adalah jalan pertamina mengakuisisi PGN. Ini membuat rencana ini menjadi tidak jelas karena penggabungan tersebut tidak dijamin terdapat sinergi operasional yang membentuk kemitraan yang menguntungkan bagi industri migas.
Dari segi ketiga, faktor lain yang menghargai rencana ini terdapat keinginan meningkatkan efisien dalam pengembangan minyak atau gas. Namun secara spesifik, penggabungan minyak dan gas bukan merupakan fokus utama. Contoh terkemuka merupaknya merger antara Shell dan BG Group. Motif utama dari keputusan ini adalah meminimalisasi biaya dalam pengembangan ladang gas di Australia. Karena dari penjelasan tersebut, peninjauan ulang menjadi penting dalam menilai kebutuhan industri migas. Ini memberi peluang bagi pengambilan keputusan yang lebih tepat dan tidak tergantung pada keadaan harga, tetapi mungkin pada keputusan strategis dari perusahaan dan kebijakan pemerintah.
Di akhir, Dradjad menyarankan perlunya kajian yang lebih komprehensif terhadap rencana pembentukan holding BUMN migas. Ini adalah langkah penting dalam menghindari keputusan yang tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini, baik secara ekonomi maupun strategis. Dengan memberikan saran ini, pemerintah dapat mengambil keputusan lebih bijak. Dari segi pengambilan keputusan, perlu dilakukan perhitungan lebih baik terhadap keputusan yang mengandung unsur investasi dan pengembangan yang berlebihan. Seiring ini, sejauh ini langkah berikutnya adalah memperhatikan kondisi perluasan pasar terkait dengan pengalaman perusahaan yang lebih besar dan kebijakan yang lebih tegas dalam pengambilan keputusan yang lebih ekonomis.
