Kurang Tabungan Konsumsi Tanah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan bahwa kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan beli tanah daripada menabung di bank merupakan pola pikir yang tidak sehat. Ia menilai bahwa kebiasaan tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat dana pihak ketiga (DPK) terhadap PDB, meskipun ada strategi nasional dalam pengembangan financial inclusion. Namun, menurut Darmin, faktor utama yang memengaruhi penggunaan dana pihak ketiga adalah spekulasi tanah, yang terbukti melalui kebiasaan masyarakat yang mengutamakan investasi tanah dibandingkan menabung.
Darmin menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum lebih tertarik dengan membeli tanah daripada menyimpan uang di perbankan. Ia menilai bahwa kondisi ini mengganggu kemajuan likuiditas perbankan dan mengganggu kenyamanan dalam membuka dan mengelola proyek infrastruktur. Menurut dia, sejauh ini Indonesia masih mengandalkan arus modal asing (capital inflow) dan penanaman modal asing (PMA), namun ini tergantung pada keterbatasan penabungan masyarakat. Ia menyebut bahwa penurunan kecenderungan menabung tidak hanya memengaruhi kualitas dana pihak ketiga, tetapi juga merangsang keputusan investasi yang lebih berisiko dan kurang efisien.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menargetkan peningkatan rasio tabungan terhadap PDB menjadi 75% dari posisi tahun lalu, yang saat ini berada di angka 36%. Dari target tersebut, Darmin menyarankan bahwa peningkatan ini harus didukung oleh strategi sosialisasi yang terus berlangsung. Ia mengatakan bahwa pembangunan sistem perbankan yang lebih baik, bersama dengan pengembangan pendidikan keuangan, merupakan langkah penting untuk mengembangkan konsumsi masyarakat yang lebih konsisten dalam menabung. Menurut Darmin, perbaikan inisiatif ini harus dilakukan secara sistematis dan bertingkat, mulai dari kegiatan perbankan, sosialisasi, hingga peningkatan komitmen masyarakat terhadap pengelolaan dana pihak ketiga.
Tujuan yang dituju adalah membangun kepercayaan masyarakat dalam kegiatan ekonomi yang terbuka terhadap perbankan, yang pada akhirnya mengurangi kekeringan dari keuangan. Sebagai contoh, keputusan membeli tanah lebih banyak dilihat sebagai tindakan investasi permanen dibandingkan keputusan menabung. Kebanyakan masyarakat memilih untuk membeli tanah sebagai alat untuk mengurangi risiko keuangan dan meningkatkan nilai tukar dari keuangan, sehingga mereka tidak memberikan perhatian terhadap penyebaran keuangan yang lebih baik. Namun, keputusan yang memilih beli tanah juga memiliki risiko kebijakan ekonomi yang tidak stabil, terutama pada saat kondisi ekonomi dan politik berubah. Oleh karena itu, menurut Darmin, kebijakan dan peraturan pemerintah harus berkelanjutan dalam menghadirkan solusi baru untuk menyelesaikan masalah ini. Menurut pengamat, hal ini menjadi tantangan besar bagi perekonomian yang berkelanjutan karena pengeluaran yang lebih besar dari pada investasi keuangan yang lebih aman.
Untuk mendukung peningkatan rasio tabungan, perlu ada sistem perbankan yang lebih aman, transparan, dan terbuka terhadap masyarakat. Namun, keterbatasan pendapatan, keterbatasan aksesibilitas perbankan, dan ketidakterjangkauan informasi keuangan menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Darmin juga mengajukan bahwa pembangunan sistem perbankan dan pendekatan pembelajaran keuangan harus dilakukan secara bersamaan. Ia menyarankan bahwa pemerintah harus terus melakukan inovasi dan penelitian untuk membangun sistem perbankan yang lebih inklusif. Selain itu, pengembangan keuangan yang lebih baik harus memperhatikan faktor-faktor sosial yang memengaruhi masyarakat dalam menetapkan keputusan keuangan. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perbaikan sistem keuangan yang lebih baik dan keterbatasan sosial harus dianggap sebagai faktor utama dalam membangun ekonomi Indonesia yang sehat dan terbuka.
Tetapkan bahwa sebelumnya, dalam konteks peningkatan penggunaan dana pihak ketiga, langkah-langkah pengembangan harus dibuat dengan jelas dan sistematis. Langkah awal harus dimulai dari pemerintah, terutama melalui strategi sosialisasi terhadap pemangku keuangan, perusahaan perbankan, dan masyarakat. Ia menyatakan bahwa inovasi dan pengembangan layanan keuangan secara bertahap menjadi kunci utama dalam perbaikan kualitas keuangan masyarakat. Dengan pendekatan ini, pemerintah harus terus mengarahkan kebijakan publik dalam bentuk program pengembangan dan pendukungan sosial keuangan.
