Npl Bca Meningkat Faktornya Dalam PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melaporkan kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL) menjadi 1,5% per September 2016. Angka ini menunjukkan pergerakan yang lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya, dan disebabkan oleh sejumlah jenis kredit yang memiliki risiko tinggi, termasuk kredit telekomunikasi dan pertambangan. Penambahan ini mencerminkan konsekuensi dari perubahan ekonomi dan kondisi pasar yang memengaruhi kinerja bank di tahun 2016.
Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mengatakan bahwa rasio NPL BCA naik dari 0,7% pada September 2015 menjadi 1,5% pada bulan tersebut. Dalam keterangan terkait kinerja kuartal III, kata dia bahwa kenaikan ini terjadi karena beberapa faktor, seperti kredit konsumsi yang terjadi pada waktu tertentu dan penundaan pembayaran. Namun, kata dia, permasalahan ini tidak menunjukkan krisis kredit, melainkan kondisi pembayaran yang terbatas karena keterbatasan dana. “Kalau kita lihat mereka masih mampu bayar. Namun secara konservatif sudah kita catatkan sebagai penambahan provisi,” terangkan Jahja dalam paparan kinerja yang disampaikan di Jakarta, 26 Oktober 2016.
Baca Juga:
Dalam konteks pertumbuhan kredit, Jahja menyebutkan bahwa meski jumlah kredit yang diberikan oleh BCA meningkat secara positif dengan jumlah Rp386,01 triliun pada September 2016, ini tidak menggambarkan pertumbuhan yang menguntungkan. Dengan perkembangan ekonomi yang melambat, kebutuhan kredit meningkat. “Sampai akhir tahun maksimal pertumbuhan kredit kami targetkan tidak lebih dari 6%,” tutur dia. Meskipun secara yoy, jumlah kredit yang diberikan terus meningkat, namun perhitungan terkait pertumbuhan kredit masih terbatas. Dengan demikian, perbedaan antara pengiriman kredit dan pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa ekonomi masih membutuhkan penurunan dalam kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan penyebaran kredit yang memenuhi peraturan perbankan.
Untuk mendukung kecukupan aset yang dikendalikan, BCA mengatakan bahwa bank mempertahankan cadangan kerugian sebesar Rp3,1 triliun. Ini menjadi penjelasan mengapa rasio cadangan terhadap total kredit bermasalah mencapai 201%. Rasio kredit terhadap pendanaan (LFR) BCA sebesar 77,3%, sementara CAR-nya mencapai 21,5%. Dalam penjelasan ini, kata dia, bahwa meskipun aset yang dikendalikan secara langsung mengalami pertumbuhan, tetap ada keterbatasan dalam pengelolaan perbankan, dan ini menjadi indikator bahwa bank tetap berada dalam kondisi terkendali.
Di semester pertama tahun 2016, BCA mencatat laba bersih sebesar Rp15,1 triliun, atau meningkat 13,2% dibandingkan periode September 2015. Ini berarti bahwa keuntungan bank meningkat meskipun menghadapi kenaikan kredit bermasalah. Bahkan meskipun NPL masih mengalami pertumbuhan, kinerja bank tetap menggambarkan keberhasilan dalam perjalanan ekonomi. Dengan memperhatikan faktor-faktor ini, pengelolaan bank menjadi lebih strategis dalam pengelolaan keuangan, mempertahankan kepercayaan terhadap keberlangsungan usaha. Dengan demikian, BCA tetap berjuang untuk menjaga kepercayaan pasar dalam pengelolaan utama kredit yang dijamin secara sistematis.
Menurut J. Setiaatmadja, pergerakan NPL BCA ke depan tidak akan terus melambung, dan angkanya seharusnya tidak melesat lebih dari 0,1–0,2% dari titik sebelumnya. “Kalaupun akan bertambah maksimal 0,1-0,2%,” tambahnya, yang merupakan pertimbangan konservatif dalam pengolahan keuangan. Dalam konteks ekonomi yang mulai melemah, pemerintah dan bank harus lebih terlibat dalam memastikan keuangan dan kepercayaan yang masih berjalan. Dengan perubahan peraturan dan tindakan yang ditunjukkan oleh perusahaan, BCA dapat menyelesaikan berbagai masalah secara optimal. Implikasi dari perubahan ini menjadi langkah penting untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Untuk mendukung ini, BCA memperluaskan jangkauan keuangan lebih luas. Hal ini dapat menentukan kinerja jangka panjang perusahaan dalam menjamin stabilitas dan kepercayaan yang lebih besar.
