Infrastruktur Terus Terus Terbatas Tanpa Seiring perkembangan kebutuhan pengembangan infrastruktur nasional, Indonesia dianggap masih tergantung pada pembiayaan dari luar negeri (Utang Luar Negeri/ULN), sebagaimana disampaikan oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, pada hari Senin, 24 Oktober 2016. Menurutnya, keberadaan pembiayaan perbankan nasional masih terbatas dalam mengatasi potensi pembangunan infrastruktur, karena masih membutuhkan dukungan luar negeri.
Permasalahan ini diperkuat oleh angka tertentu yang menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDP) Indonesia mencapai sebesar Rp11.000 triliun. Menurut data yang disampaikan oleh Mirza, peran perbankan dalam mengelola anggaran infrastruktur tidak mencukupi, hanya mampu menangani sekitar 35% dari total anggaran tersebut. Jika dipahami lebih dalam, maka perbankan hanya mampu mengcover sebanyak Rp3 ribu hingga Rp4 ribu triliun dari anggaran yang dibutuhkan, sehingga terus membutuhkan pembiayaan dari luar negeri untuk membangun infrastruktur secara sistematis.
Baca Juga:
Di sisi lain, data mengenai utang luar negeri (ULN) di Indonesia menunjukkan bahwa anggaran utang korporasi mencapai US$160 miliar dan utang pemerintah mencapai US$140 miliar, total yang menyebabkan sejumlah US$300 miliar—sekitar Rp4.000 triliun—dibebankan secara luar negeri untuk mengalirkan dana dalam pengembangan infrastruktur nasional. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dana pengembangan tersebut dipraktikkan sebagai aset eksternal, yang secara eksplisit menyiratkan perluasannya pada pengeluaran dana dari luar negeri.
Baca Juga:
Dengan memperhatikan keadaan ekonomi saat itu, Mirza menyampaikan bahwa perbankan nasional memiliki likuiditas yang sebesar Rp300 triliun hingga Rp350 triliun. Namun, jumlah dana tersebut tidak bisa langsung dialokasikan untuk kredit karena terbatas terhadap kebutuhan keuangan bank sebagai aset likuid. Menurutnya, karena keterbatasan aset likuid, bank harus mempertimbangkan adanya keterbatasan yang terjadi terhadap kepercayaan nasabah dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam mengelola keuangan, sehingga tidak semua dana dapat langsung disetujui sebagai kredit, melainkan dilakukan dengan proses seleksi lebih lanjut.
Terlepas dari ketidaksesuaian pembiayaan dari perbankan nasional, sebenarnya tidak menutup kemungkinan bahwa sektor perekonomian Indonesia tetap membutuhkan dukungan eksternal dari luar negeri. Meski perbankan memiliki kapabilitas dalam mengelola dana, kebijakan ekonomi dan pengelolaan keuangan yang tidak terlalu optimal masih menjadi perluasan dari keterbatasan aset perbankan dalam menyediakan kredit. Pembiayaan eksternal ini akan menjadi kunci utama dalam memperkuat potensi pembangunan infrastruktur dan mencapai target ekonomi yang lebih baik di masa depan.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa investasi luar negeri hanya tergantung pada kepercayaan bank. Sebaliknya, perlu dipertimbangkan bahwa pengelolaan dana dalam negeri yang tidak memadai akan mengakibatkan keterbatasan dalam pengembangan infrastruktur. Meningkatnya kebutuhan infrastruktur di bidang transportasi, energi, dan pembangunan lainnya harus menjadi fokus prioritas, terutama dalam konteks ekonomi yang lebih terbuka dan kompeten. Untuk memastikan kenyamanan dalam pengembangan ekonomi nasional, langkah berikutnya dapat diambil dengan memperhatikan kebutuhan investasi yang cukup terpenuhi secara langsung dari berbagai sumber eksternal. Dengan perencanaan yang lebih sistematis dan pengawasan terhadap penggunaan dana, pemerintah dan bank berpotensi menciptakan arus keuangan yang stabil untuk pengembangan ekonomi Indonesia. Hal ini akan menjadi bagian penting dari perubahan sistem keuangan yang lebih baik dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
