Blog Web & Deep Insights

DK-OJK Harus Mampu Antisipasi Krisis Keuangan

Dk Ojk Harus Mampu Antisipasi Seiring berakhirnya periode jabatan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) dari tahun 2012 hingga 2017, masa pelayanan baru akan dimulai pada 23 Juli 2017. Dengan harapan, anggota DK-OJK pada periode 2017–2022 akan mampu mengantisipasi ancaman krisis keuangan yang dapat berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC), Eric Sugandi, menyampaikan bahwa beberapa tantangan besar dihadapi oleh anggota DK-OJK yang baru meliputi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia. Salah satu risikonya adalah pengalaman keuangan global seperti penurunan inflasi yang menyebabkan kenaikan suku bunga di dalam negeri. Ini bisa berdampak pada meningkatnya NPL (non-perkiraan likuiditas) di sistem perbankan, terutama saat kondisi ekonomi dunia usaha masih belum pulih.

“Misalnya, risiko capital outflows ketika US Fed Fund naik, mengakibatkan suku bunga di dalam negeri juga cenderung naik, sementara iklim dunia usaha masih belum pulih, pada akhirnya akan mengakibatkan kenaikan NPL di sistem Perbankan,” ujar Eric saat dikutip dalam sebuah wawancara di Jakarta, Jumat, 27 Januari 2017. Dalam konteks ini, anggota DK-OJK harus terus melakukan supervisi sistem finansial dan lembaga keuangan domestik, baik perbankan maupun industri keuangan non bank (IKNB), secara pruden, serta memperkuat kerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan, serta LPS untuk menjaga kestabilan sistem keuangan.

Risiko kedua yang diperhatikan adalah perkembangan inovasi keuangan, terutama fintech, yang cepat beradaptasi lebih baik dari regulasi yang saat ini terdapat. Dengan demikian, anggota DK-OJK yang baru harus meningkatkan kemampuan personil dan melakukan rekrutmen tenaga profesional berpengalaman dari pasar finansial dan lembaga keuangan untuk menjadi regulator dengan seleksi yang ketat. Ini penting untuk menjamin bahwa kebijakan yang diambil oleh OJK mampu menjaga keamanan pasar dengan adaptasi terhadap perkembangan teknologi yang semakin berkembang.

Lalu, risiko ketiga adalah potensi terjadinya kejahatan finansial, seperti investasi bodong dan manipulasi pasar oleh oknum pelaku pasar finansial. Misalnya, pengerekan atau rigging suku bunga bank. Dalam konteks ini, anggota DK-OJK harus melakukan supervisi secara pruden dan memperkuat kerjasama dengan lembaga penegak hukum seperti unit ekonomi Polri. Hal ini penting dalam menghindari penyebaran kejahatan yang dapat mengganggu kepercayaan masyarakat dalam penggunaan sistem keuangan.

Eric juga menekankan bahwa anggota DK-OJK yang menjabat saat ini telah melakukan upaya yang baik dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun, hal ini perlu ditingkatkan secara kecepatan, terutama dalam membuat regulasi dan melakukan pengawasan terhadap inovasi-inovasi keuangan baru, misalnya fintech. Hal ini menjadi tanggung jawab penting karena terus menerus terjadi peningkatan teknologi yang menyebabkan perbedaan antara kecepatan inovasi dan ketahanan regulasi.

Dari sisi pengembangan sistem keuangan, data perbankan pada tahun 2016 memberikan konfirmasi bahwa industri perbankan Indonesia telah beradaptasi secara baik. Total aset perbankan mencapai Rp6.582 triliun pada November 2016, meningkat dari Rp5.615 triliun pada tahun 2014. Selain itu, rasio permodalan (CAR) juga meningkat dari 19,57% pada Desember 2014 menjadi 23,04% pada November 2016. Sementara jumlah kredit mencapai Rp4.285 triliun, menunjukkan peningkatan secara signifikan dibanding Rp3.674 triliun pada Desember 2014. Selain itu, jumlah dana pihak ketiga juga meningkat dari Rp4.114 triliun menjadi Rp4.837 triliun pada November 2016.

Indonesia telah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998, yang bermula dari buruknya sistem pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan, khususnya sektor perbankan, yang tidak mampu mencegah dampak krisis moneter dari negara lain. Dengan pelaksanaan OJK sejak 2014, kinerja dan stabilitas industri jasa keuangan berada dalam kondisi normal. Hal ini mencerminkan bahwa pengaturan keuangan telah berkembang dan mampu mengatasi ancaman. Namun, langkah-langkah berikutnya adalah perlu mendorong peningkatan kecepatan regulasi dan pengawasan secara lebih efisien, terutama terhadap inovasi keuangan seperti fintech yang terus berkembang. Tindakan yang dilakukan oleh OJK dan pihak-pihak terkait harus diarahkan ke arah mendorong transisi sistem keuangan menuju keamanan, efisiensi, dan kepastian pasar yang lebih tinggi.

Exit mobile version