Ri Harus Proaktif Dalam Mempertahankan Andri W Kusuma, pengamat hukum dari Universitas Indonesia, menilai pentingnya peran Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan antara Cina dan negara-negara ASEAN. Dalam kesempatan ini, Andri membahas bagaimana Indonesia harus lebih aktif dalam menjaga perdamaian kawasan dan memperkuat posisinya sebagai negara dengan kepentingan yang signifikan di wilayah Asia Tenggara.
Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, harus meningkatkan perannya dalam menghadapi ketegangan yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan. Menurut Andri, meskipun hasil putusan Arbiterase antara Filipina dan Cina telah menentukan bahwa tidak ada dasar hukum bagi Cina untuk mengklaim hak sejarah hingga kekayaan alam di wilayah nines-dash line, Indonesia tetap harus mengambil peran aktif sebagai negara yang memiliki kepentingan dalam menjaga kedaulatan dan perdamaian di kawasan.
Baca Juga:
Andri menyampaikan bahwa Indonesia tidak perlu menyatakan diri sebagai negara claimant, namun dapat memperkuat posisinya sebagai negara yang memiliki kepentingan. Dalam pengamatan Andri, Cina telah mengikuti strategi Israel dalam memecah sentralitas ASEAN melalui Laos dan Kamboja. Peran Cina dalam memecah sentralitas ASEAN di wilayah Laut Cina Selatan terjadi seiring kebijaksanaan yang diterima oleh negara-negara kawasan timur tengah, terutama dalam membela Palestina dan mendukung Israel dalam mematuhi resolusi DK PBB. Meskipun Israel telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM, hal ini tetap dilakukan karena faktor kekuatan ekonomi dan militer. Namun, karena Cina berhasil menguasai wilayah Laut Cina Selatan dan memecah sentralitas ASEAN, ini menunjukkan kepentingan strategis Cina terhadap kawasan Asia Tenggara.
Mengutip bahwa Cina tidak hanya berhasil melalui propaganda militer, tetapi juga memecah sentralitas ASEAN melalui Laos dan Kamboja. Ini terjadi karena posisi ketua ASEAN saat ini di tangan Laos, dan karena wilayah tersebut bukan negara maritim serta memiliki investasi besar dari Cina. Kedua faktor ini menunjukkan bahwa Cina memiliki kekuatan yang signifikan terkait kedaulatan dan kewenangan di kawasan tersebut. Dalam konteks ini, Andri menilai bahwa kepentingan Indonesia dalam menjaga kedaulatan dan menjaga perdamaian kawasan harus ditingkatkan agar bisa meredakan ketegangan di wilayah tersebut.
Andri menambahkan bahwa selain meminta Pemerintah meningkatkan perannya, Indonesia juga harus mendorong negara-negara kawasan yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa secara cepat dan damai dengan Cina. Dalam hal ini, Andri menyarankan penerapan putusan Arbiterase sebagai salah satu referensi hukum untuk memperkuat peran ASEAN dalam mengatur sengketa Laut Cina Selatan. Selain itu, terjadi juga keberadaan keputusan Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag yang menentukan bahwa tidak ada dasar hukum bagi Cina untuk mengklaim hak sejarah dan kekayaan alam di wilayah nines-dash line. Putusan ini diterima pada Selasa 12 Juli 2016, namun Cina menyatakan tidak mengakui keputusan tersebut. Cina mendukung posisi bahwa putusan tersebut harus ditolak, meskipun sekitar 60 negara telah mendukung posisi tersebut, namun hanya beberapa yang menyuarakannya secara umum. Dalam konteks ini, Andri menyampaikan bahwa Indonesia harus memperkuat posisinya dalam mengambil keputusan secara strategis terhadap ketegangan tersebut.
Menurut Andri, penting untuk mengingat bahwa kepentingan Indonesia dalam menjaga kedaulatan dan menjaga perdamaian kawasan tidak hanya tergantung pada kekuatan ekonomi dan militer, tetapi juga terhadap kebijaksanaan dan peran ASEAN dalam menganggarkan sengketa tersebut. Kedaulatan di kawasan hanya bisa tercapai jika ASEAN kembali memegang sentralitasnya. Oleh karena itu, Andri menilai bahwa keterlibatan Indonesia dalam menghindari kegagalan ASEAN dalam mengambil keputusan secara berkelanjutan dan melindungi kepentingan nasional akan menjadi langkah penting untuk menjaga stabilitas di kawasan.
Untuk menjadikan keputusan putusan Arbiterase sebagai referensi hukum bagi kawasan, Indonesia harus mendorong negara-negara kawasan yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa secara cepat dan damai. Dalam konteks ini, Andri menyarankan penerapan putusan Arbiterase sebagai salah satu referensi hukum yang dapat dijadikan hukum untuk kawasan. Selain itu, karena Cina telah mengikuti strategi Israel dalam memecah sentralitas ASEAN dan tidak menangani peran ASEAN, dan seiring kebijaksanaan ASEAN dalam membangun kepedulian terhadap kepentingan kawasan, maka Indonesia harus berperan aktif dalam menghindari ketegangan tersebut.
Penutup, meskipun putusan Arbiterase telah ditetapkan dan tidak mengakui oleh Cina, Indonesia tetap harus mengambil peran aktif dalam menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia harus mendorong negara-negara lain agar dapat mengambil keputusan yang bersifat damai dan terbuka. Selain itu, Indonesia harus memperhatikan kebijaksanaan ASEAN dalam memperbaiki struktur perbatasan dan memperkuat kepentingan kawasan yang telah terjadi. Langkah-langkah berikutnya yang dapat diambil adalah memperkuat hubungan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa, dan meningkatkan kerja sama dalam membangun keberlanjutan di wilayah Laut Cina Selatan.
