Perbaikan Sudut Pandang Penerapan Gwm Bank Indonesia (BI) akan menerapkan kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) rata-rata atau GWM averaging pada tahun 2017, dengan pendekatan bertahap atau secara parsial. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari langkah-langkah kebijakan moneter yang harus dipahami secara prudensial, sesuai dengan langkah-langkah BI yang telah ditetapkan sebelumnya. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah pencegahan terhadap fluktuasi pasar yang terjadi pada saat pelaksanaan kebijakan yang berlebihan.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan bahwa penerapan GWM Averaging secara bertahap adalah perlu dilakukan karena setiap kebijakan moneter membutuhkan perhatian terhadap dampaknya terhadap ekonomi. “Ini kan penyesuaian harus dilihat dulu dampaknya. Waktu itu BI mengubah BI rate jadi BI 7 day RR itu kan melalui tahapan-tahapan juga. Namanya kebijakan moneter itu memang harus pruden, harus berhati-hati ya konservatif,” ujar David saat konferensi pers di Jakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Baca Juga:
Sebagai penjelasan lebih lanjut, David menambahkan bahwa penerapan GWM Averaging ini akan memungkinkan BI untuk memperhatikan reaksi perbankan dan pasar keuangan terhadap kebijakan tersebut. “BI mungkin mau melihat seberapa besar dampaknya ada anomali atau tidak, kan kadang kebijakan itu bisa juga ditanggapi negatif di pasar. Jadi nggak bisa kita terapkan langsung kan kita harus lihat dulu dampaknya gimana jadi harus bertahap memang,” ujarnya.
Di sisi lain, ekonom dan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti mengatakan bahwa diterapkannya GWM Averaging secara bertahap lebih baik dibandingkan langsung diterapkan. “Mungkin kan karena dilihat dulu bbank bisa ngikutin atau tidak. Kalau terlalu berfluktuasi, misalnya skrg kan GWM 6,5%, kalau langsung dikenakan bisa saja kalau bank tidak berhati-hati posisi GWM-nya berfluktuasi takutnya kalau keterusan bisa saja jadi masalah likuiditas. Bank kita kan banyak sekali ada 118 bank dengan kondisi satu bank ke banknya beda-beda,” ungkap Destry.
Menurut Destry, kebijakan ini juga lebih menguntungkan bagi perbankan karena lebih fleksibel dalam mengelola likuiditas. Dalam proses operasional, bank dapat mengatur likuiditasnya lebih baik berdasarkan transaksi keluar dan masuk yang berbeda. “Diterapkan secara bertahap jauh lebih baik ketimbang langsung diterapkan secara drastis, karena ini kan tiba-tiba satu hari langsung diterapkan average. Kalau saya sih setuju secara parsial dan penerapan GWM Averaging ini akan mempermudah bank dalam mengatur likuiditasnya,” tambah Destry.
Sebelumnya, dalam Pertemuan Tahunan BI, Gubernur BI Agus Martowardojo mengumumkan bahwa kebijakan GWM Averaging akan diterapkan pada Semester II 2017. Menurutnya, kebijakan ini merupakan best practice yang telah dijalankan di negara-negara maju. “GWM Averaging adalah best practice di negara-negara yang sudah mapan. Untuk itu kita akan mempersiapkannya,” katanya.
Lebih lanjut, BI saat ini menghitung dana milik bank yang disimpan di giro BI setiap waktu, bukan per periode. Misalnya, saat ini rasio GWM-Primer atau yang diartikan sebagai simpanan minimum bank dalam rupiah atau valas di BI sebesar 6,5%. Dengan cara ini, setiap bank harus menaruh 6,5% dari total Dana Pihak Ketiga bank di giro BI. Setelah diterapkan GWM Averaging, maka kewajiban bank dalam menaruh simpanan di giro BI akan dihitung secara rata-rata per periode.
Implikasi dari kebijakan ini adalah penyesuaian pada kebijakan moneter yang lebih stabil, mengurangi risiko kegagalan likuiditas secara langsung, dan memungkinkan BI untuk mengamati reaksi pasar secara lebih jelas. “Harapannya, dengan GWM Averaging ini perbankan lebih mudah mengatur likuiditasnya sehingga ke depan kebutuhan likuiditas bisa disesuaikan,” ujarnya. Dengan kebijakan ini, BI berupaya meningkatkan kepercayaan terhadap sistem keuangan yang lebih terkoordinasi dan aman di masa depan.











