Kenaikan Rupiah Di 2017 Tiga Di tengah kenaikan ekspektasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, asumsi nilai tukar rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017 dikembalikan ke rentang Rp13.300-Rp13.600, melampaui proyeksi sebelumnya yang mencerminkan angka Rp13.650-Rp13.900. Perubahan ini mencerminkan pergeseran makro ekonomi dan perluasan kepercayaan terhadap pergerakan mata uang rupiah.
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, penurunan asumsi nilai tukar rupiah terjadi karena tiga faktor utama yang berpotensi menguatkan mata uang tersebut secara kumulatif. Faktor pertama adalah sentimen positif terhadap kebijakan pengampunan pajak, yang secara eksplisit diberikan oleh pemerintah. Kebijakan ini dianggap dapat memperkuat rupiah di masa depan, karena mendorong investasi investor eksternal dan membangun kualitas ekspansi pasar yang lebih dominan di luar negeri. Ini terjadi karena para pelaku pasar berkeyakinan bahwa kebijakan tax amnesty membuka peluang baru bagi pergerakan dana rupiah ke arah yang lebih stabil dan menguatkan peran perekonomian nasional.
Terlepas dari pergerakan pasar yang tergantung pada keputusan eksternal, faktor kedua yang menguatkan rupiah adalah kondisi global yang diperkirakan tidak terlalu buruk. Dalam konteks ini, terutama karena pengaruh dari perkembangan politik terhadap kebijakan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed), di mana tren ini diperkirakan tidak terlalu cepat atau berlebihan. Kebijakan ini disebut memengaruhi arah global yang menjadi pemengaruhi sentimen, meskipun ada keadaan kenaikan bunga yang terbatas dari dua kali ke satu kali. Selain itu, kondisi global seperti keputusan Britania akan meningkatkan optimisme karena keputusan penghentian (British Exit) yang dianggap dapat memperlambat inflasi di masa depan. Ini memberikan dukungan dari pihak berkepentingan global terhadap kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia.
Untuk faktor ketiga, kondisi neraca pembayaran masih membaik, meskipun terjadi perubahan dalam jumlah defisit transaksi berjalan yang diprioritaskan. Defisit transaksi berjalan sekarang hanya berkisar 2,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan nilai kecil. Ini dianggap menunjukkan bahwa aliran dana dari luar negeri mengalir ke dalam ekonomi dengan lebih baik. Dengan demikian, surplu neraca pembayaran terus meningkat, yang menjadi faktor kuat untuk menekan nilai rupiah terhadap dolar AS. Ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi internasional mengalami konsistensi yang memungkinkan rupiah terus menguat secara teratur.
Beberapa kekuatan ekonomi dan kebijakan yang dikemukakan oleh Perry menunjukkan perhatian terhadap kestabilan nilai tukar rupiah secara keseluruhan. Pemerintah memilih untuk mengganti asumsi nilai tukar rupiah dalam RAPBN 2017 agar lebih berbasis pada kepercayaan dari faktor eksternal yang memengaruhi pergerakan ekonomi secara global. Ini adalah penyesuaian ekonomi yang terlihat terencana dan terbuka terhadap risiko pasar yang lebih rendah. Namun, peningkatan ini tidak berarti menandakan keterbatasan dalam strategi ekonomi, dan masih harus mempertimbangkan kinerja dari kebijakan terhadap pengawasan ekonomi oleh pemerintah.
Untuk masa depan, pemerintah diperlukan untuk menjaga kondisi ekonomi dengan mempertimbangkan berbagai faktor eksternal yang memengaruhi nilai tukar rupiah. Langkah berikutnya adalah mengembangkan kebijakan penerapan kebijakan pengawasan ekonomi secara lebih ketat, terutama dalam mengatasi pertimbangan terhadap pergerakan dana dari luar negeri, serta kebijakan pendukung ekonomi terkait pendapatan dan investasi. Ini adalah langkah penting agar rupiah tetap stabil terhadap dolar AS dan ekonomi dapat berjalan dengan lebih stabil dalam jangka panjang.











