Bank Tak Dapat Terbunyi Fintech Seiring dengan perkembangan teknologi digital, masyarakat Indonesia mulai mengalami tren transisi dari pinjam meminjam uang melalui perusahaan tradisional ke perusahaan finansial teknologi, atau lebih dikenal sebagai fintech, melalui model peer-to-peer (P2P) lending. Model ini menunjukkan perubahan dinamis dalam ekosistem keuangan saat ini, namun juga menimbulkan tantangan bagi perbankan nasional dalam menjaga relevansi dan kepercayaan pasar.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, mengingatkan bahwa perbankan harus mengantisipasi peluang dalam menghadirkan layanan keuangan berbasis teknologi. Menurut dia, perkembangan fintech terutama melalui skema P2P lending dapat menghasilkan pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi, namun saat ini masih berupa potensi yang belum didorong secara signifikan. Menurut Mirza, industri Fintech di Indonesia memiliki potensi besar yang harus dimaksimalkan, terutama dalam mendukung inklusi keuangan yang masih rendah di segi aksesibilitas dan keterjangkauan layanan.
“Jangan sampai perbankan terlibas dengan perkembangan fintech dan sistem pembayaran yang serba digital,” kata Mirza dalam pidatanya di Jakarta, Jumat, 16 Desember 2016. Ia menekankan bahwa perbankan harus aktif membangun infrastruktur teknologi untuk merespons tren ini. Di dalam konteks ini, perbankan harus terus mendorong inovasi dengan memperhatikan regulasi, sistem pengawasan, serta keamanan transaksi digital. Hal ini juga harus disusun secara terbuka dengan memperluas kolaborasi antara pihak-pihak terkait seperti otoritas, bank, dan lembaga teknologi yang berkembang.
Baca Juga:
OJK: Waspadai Dampak Teknologi Perbankan — Klarifikasi dan Peran Penting dalam Era Digital
Baca Juga:
Menurut Mirza, meski saat ini skema P2P masih berjumlah terbatas, potensinya sudah sangat besar, terutama jika dilihat dari aspek inklusi keuangan. “Jangan sampai nanti tahu-tahunya perbankan luar negeri bisa manfaatkan konsumer Indonesia dengan menawari skema P2P. Bisa saja seperti Malaysia masuk, Thailand masuk dan negara lainnya. Kan ini memungkinkan,” ujar dia dalam penjelasan yang mendukung langkah strategis dalam menghadapi tantangan digital tersebut.
“Kami di BI terus mencermati perkembangan Fintech dan pengaturannya. Maka dari itu, kami keluarkan Fintech Office, di situ kita bisa melihat perkembangan Fintech seperti apa dan pengaturannya seperti apa dan jangan sampai inovasinya matI. Kita harus dorong inovasi ini,” tutupnya. Langkah ini menunjukkan keinginan BI untuk membangun lingkungan yang lebih terbuka, transparan, dan terkait dengan proses pengelolaan serta regulasi yang terus diperbaiki.
Menurut Mirza, meski P2P masih kecil dalam kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, peluang industri ini dapat meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat yang saat ini belum tersedia layanan bank yang lebih efisien dan mudah. Dalam hal ini, inovasi teknologi menjadi kunci utama yang perlu ditangani secara strategis oleh perbankan dan lembaga terkait lainnya. Penyelenggaraan sistem yang terbuka dan efisien juga perlu diprioritaskan dalam pengaturan regulasi yang mengakui kepentingan ini secara utama. Sehingga akan terbentuk ekosistem keuangan yang lebih inklusif dan terintegrasi.
Implikasi dari perubahan ini meliputi peningkatan aksesibilitas dan kenyamanan layanan masyarakat yang terutama berada di luar bantuan bank tradisional. Selain itu, peluang ini juga berpotensi meningkatkan penyerapan sumber daya manusia dalam bidang teknologi. Namun, perlu diingat bahwa keberhasilan penerapan teknologi ini tergantung pada peluang pengembangan dan pengawasan yang sistematis. Sehingga pemerintah, perbankan, serta otoritas terkait harus berperan dalam memberikan dukungan terhadap inovasi tersebut secara berkelanjutan.











