Bank Syariah Dengan Npf Melebihi Lonjakan kredit bermasalah di bank syariah menjadi isu yang serius dalam ekosistem perbankan syariah Indonesia. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah Non Performing Financing (NPF) dalam bank syariah telah mencapai 5,54%—menjelaskan bahwa skala masalah ini telah melampaui batas maksimum yang telah ditentukan. Tidak hanya menggambarkan keadaan eksternal, tetapi juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh bank syariah dalam menjaga kualitas kreditnya. Menurut Biro Riset Infobank (birI), trend peningkatan NPF di perbankan syariah pada tahun-tahun terakhir merupakan indikator kinerja yang makin menghadapi tekanan dari regulator. Tahun 2015 merupakan titik balik sejarah, di mana 12 bank syariah yang memperoleh NPF melampaui 5%, dengan 5 di antaranya berupa bank umum syariah dan 7 unit usaha syariah. Hal ini menandai kenaikan jumlah peringkat risiko yang berlaku dalam sistem kredit.
Salah satu bank yang menjadi sorotan dalam penilaian ini adalah Maybank Syariah. Angka NPF-nya mencapai 35,15%, yang jauh melampaui batas yang diatur oleh OJK. Bila dilihat dari data, tren ini tidak terkait hanya dengan kebijakan internal, tapi juga dengan ketidakstabilan ekonomi dan eksternal yang memengaruhi lanskap pasar kredit. Namun, hal ini juga menggambarkan bahwa keterbatasan keterkaitan dengan pengelolaan dan perencanaan pembiayaan yang perlu diantisipasi. Terdapat beberapa bank yang memiliki angka NPF sangat tinggi, seperti Bank Victoria Syariah mencapai 9,80%—dari angka tersebut, menandai keberadaan bank yang memiliki rasio kredit bermasalah yang sangat tinggi. Namun, juga terdapat beberapa bank lain yang juga menghadapi kesulitan, seperti Bank Muamalat dengan NPF 7,11%, Bank BJB Syariah 6,93%, dan Bank Syariah Mandiri 6,06%. Ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam struktur kredit dan pelaporan masih terus terjadi, terutama pada level bank unit usaha syariah. Kehadiran kelebihan ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor seperti perusahaan yang tergolong di sektor pertambangan, yang merupakan salah satu penyebab utama risiko kredit yang tinggi di industri tersebut. Salah satu bank yang menjadi pelanggaran terhadap regulasi terhadap NPF adalah Bank Muamalat. Pada saat itu, direktur bisnis korporasi PT Bank Muamalat Indonesia, Indra Y. Sugiarto mengatakan bahwa upaya restrukturisasi telah berhasil dijalankan, terutama dalam hal pembayaran yang terkait dengan anggaran besar, yang tercatat sebanyak Rp5 triliun. Namun, hal ini tidak bisa dianggap hanya sebagai pembenahan kecil, karena perbaikan ini harus berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan diperlukan pelaksanaan sistem yang lebih baik di seluruh jaringan kredit. Penyebab utama dari NPF ini mungkin juga berkaitan dengan pengembangan kredit yang tidak memenuhi standar kualitas terlebih dari hasil perencanaan ekonomi yang telah terjadi di masa lalu. Penjelasan ini akan memperlihatkan bahwa peningkatan NPF bukan hanya masalah eksternal, tetapi juga faktor internal yang harus dikembangkan secara lebih konsisten. Kinerja dari bank syariah harus dipantau secara lebih terukur dan terkendali, terutama dengan perubahan dalam proses pengelolaan dan pembiayaan yang berlangsung secara terbatas. Selain itu, peningkatan NPF juga mendorong pelaksanaan kebijakan yang lebih baik secara ekonomi maupun sosial.
Baca Juga:
Untuk melihat lebih dalam, data dari birI menunjukkan bahwa rata-rata NPF Gross dari unit usaha syariah terhadap total NPF berangkat dari 3,03%, yang masih terkendali secara keseluruhan. Hal ini memberikan penilaian bahwa peningkatan NPF yang terjadi secara besar-besaran di sektor ini tidak terjadi secara mutlak. Namun, perlu diingat bahwa rasio ini mungkin masih menghadapi kendala dari faktor eksternal seperti perubahan ekonomi yang terjadi di masa lalu. Rata-rata NPF dari bank umum syariah yang lebih rendah, yaitu 2,18%. Ini menunjukkan bahwa perbedaan antara dua jenis bank berbeda secara besar-besaran, dan hal ini bisa menjadi indikator bahwa kebijakan dalam pengelolaan kredit masih perlu direvisi dan dijalankan secara lebih konsisten. Berdasarkan data dari birI, rata-rata NPF gross dari bank umum syariah lebih rendah, dan peningkatan ini lebih baik dibandingkan dengan unit usaha syariah, yang memiliki rasio NPF yang lebih tinggi. Namun, perlu dilihat lebih dalam tentang bagaimana faktor eksternal seperti kinerja ekonomi atau kebijakan regulasi yang menguntungkan dapat memengaruhi peningkatan ini. Dalam hal ini, peningkatan NPF tersebut dapat diperjelas sebagai permasalahan khusus terhadap pembiayaan yang dibuka secara tidak langsung oleh kondisi pasar yang mengalami perubahan. Oleh karena itu, perubahan kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan regulasi perlu menjadi prioritas. Pemangkuan bank syariah perlu melihat kinerja terhadap permasalahan kredit secara lebih lanjut, dan penggunaan teknologi yang mampu memperbaiki sistem kredit. Dengan kata lain, peningkatan NPF ini menandai bahwa kebijakan regulasi perlu diperhatikan lebih terperinci.
Untuk memperbaiki kualitas kredit, Bank Muamalat telah melakukan upaya restrukturisasi yang telah membaik. Bila dikaitkan dengan angka yang telah mencapai Rp5 triliun, peningkatan ini menunjukkan bahwa upaya restrukturisasi dapat berhasil untuk mengurangi beban kredit yang terus-menerus meningkat. Namun, penilaian ini tidak menunjukkan bahwa semua angka NPF telah selesai—dalam konteks ekonomi dan eksternal yang terjadi di masa kini, terdapat potensi terlambatnya keberlanjutan dari upaya pembenahan tersebut. Upaya restrukturisasi oleh Bank Muamalat ini perlu dianggap lebih dari sekadar perbaikan angka saja, tetapi juga dalam bentuk pengembangan sistem yang lebih teratur. Dalam hal ini, Bank Muamalat juga menghadapi tantangan dari perubahan ekonomi yang mengalami peningkatan dari kebijakan pemerintah. Jika tidak dapat memenuhi standar kualitas kredit dengan baik, maka pengaruh negatif terhadap keuangan masyarakat akan terjadi. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan yang lebih lanjut terhadap kinerja bank syariah, termasuk penguatan kualitas pembiayaan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Bank Syariah Mandiri (BSM) terus berupaya memperbaiki kualitas kreditnya melalui proses pemantauan dan penurunan angka NPF. BSM telah menyatakan keinginan untuk memperbaiki kapasitas pembiayaan dan mengurangi angka NPF secara menyeluruh. Keterbukaan terhadap penggunaan teknologi yang mampu menangani pengelolaan keuangan masyarakat juga menjadi satu langkah penting dalam memperbaiki proses ini. Sebagai konsekuensinya, proses tersebut perlu dilakukan dengan lebih konsisten dan transparan, dengan pengawasan yang lebih ketat dan penilaian yang lebih objektif, terutama dalam kebijakan pelaksanaan pembiayaan dan penilaian risiko. Hal ini dapat menurunkan jumlah angka NPF dan memperbaiki kualitas kinerja bank syariah. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi dan sosial, upaya penanganan ini penting untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap keuangan syariah.
Sementara itu, Bank Syariah Mandiri (BSM) mengambil langkah strategis untuk memperbaiki kualitas kreditnya. Dalam penjabaran terkait dengan kebijakan yang diperkenankan oleh regulator, BSM menekankan kegiatan pengelolaan secara konsisten, termasuk dengan menurunkan angka NPF melalui perencanaan sistem yang lebih baik. Penyebaran kebijakan yang lebih efektif, termasuk dalam penyelenggaraan pembiayaan, merupakan langkah penting untuk mencegah keterlambatan dalam pengelolaan kredit. Selain itu, bank juga mengambil tindakan peningkatan kualitas pembiayaan melalui penambahan cara penagihan yang lebih strategis terutama terhadap nasabah mikro. Namun, penggunaan teknologi untuk memperbaiki sistem pengelolaan, serta pengembangan sistem pembiayaan yang lebih terorganisasi merupakan langkah yang perlu diambil. Penurunan angka NPF juga menunjukkan bahwa bank syariah telah memperoleh perbaikan dalam pengelolaan kredit dan pembiayaan. Dalam kondisi ekonomi yang terus bergerak, penting bagi bank syariah untuk terus mengambil langkah yang lebih baik terhadap proses pengelolaan kredit yang dapat mempertahankan kepercayaan publik dan mencegah keterlambatan yang terjadi. Penjelasan ini akan menggambarkan bahwa perlu terus diperhatikan oleh pengambilan kebijakan dan pengawasan yang lebih ketat untuk memperbaiki kondisi kinerja bank syariah secara keseluruhan. Tindakan tersebut juga penting dalam mengelola efisiensi dan kepercayaan publik terhadap bank syariah yang menghadapi tantangan dalam pengelolaan kredit. Jika dilihat dari sudut pandang ini, langkah-langkah berikutnya harus diperhitungkan, terutama dalam mengurangi angka NPF dan meningkatkan kualitas pembiayaan. Langkah-langkah ini harus menjadi prioritas utama untuk memperbaiki sistem kredit yang masih menghadapi tantangan terhadap keberlanjutan ekonomi dan keuangan masyarakat. Dalam hal ini, peningkatan kualitas kredit adalah kunci utama yang perlu diambil oleh semua bank syariah dalam konteks ekonomi dan eksternal yang terus mengalami perubahan. Tindakan terakhir ini harus dilihat sebagai langkah terutama yang perlu dilakukan oleh setiap pihak terkait dalam memperbaiki sistem kredit.











