Suku Bunga Inflasi Bank Indonesia (BI) melalui perubahan suku bunga acuan pada periode Januari hingga Juni 2016 mengalami penurunan sebanyak 100 bps dari level 6,5% menjadi 1% — perubahan yang terjadi pada tahun 2016.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, mengatakan bahwa suku bunga acuan BI tetap berada di atas angka inflasi, meskipun angka inflasi pada tahun tersebut masih cukup tinggi. Menurutnya, suku bunga harus sedikit lebih tinggi dari inflasi agar bunga simpanan di bank tetap menarik, terutama bagi kelompok nasabah yang mengakses pinjaman atau simpanan besar.
“Suku bunga acuan tidak bisa turun signifikan karena inflasi kita masih tinggi. Suku bunga itu sulit sekali untuk bisa dibawah inflasi, teorinya suku bunga harus ada sedikit diatas inflasi,” ujar Mirza saat konferensi pers di Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016. Penjelasan ini memberikan penjelasan kontekstual mengenai keputusan BI dalam menyesuaikan tingkat suku bunga dengan kondisi ekonomi saat itu.
Dalam konteks ini, Mirza menyampaikan bahwa seiring meningkatnya tingkat inflasi, kebijakan bank menjadi lebih berperan dalam mendukung perekonomian. Namun, untuk mendorong kepercayaan terhadap sistem simpanan, BI harus mempertahankan suku bunga acuan di atas angka inflasi. Hal ini dikatakan penting, terutama bagi para nasabah yang memiliki keuangan yang lebih besar dan tidak tergantung pada suku bunga yang lebih rendah.
Lebih lanjut, data dari Juni 2016 menunjukkan bahwa jumlah rekening simpanan di bank mencapai 184 juta rekening, dengan sebagian besar jumlah rekening terdistribusi di atas dan di bawah Rp2 miliar. Secara spesifik, terdapat 183 juta rekening dengan nilai saldo di atas Rp2 miliar, serta 221 ribu rekening dengan nilai saldo di bawah Rp2 miliar. Nilai total saldo simpanan di atas Rp2 miliar mencapai Rp2.494 triliun, yang merupakan 54,65% dari total simpanan, sementara total saldo simpanan di bawah Rp2 miliar mencapai Rp2.069 triliun atau 45,35%.
Uang yang disimpan di atas Rp2 miliar memperoleh perhatian lebih besar dari nasabah kecil, dan kepercayaan terhadap bank juga tergantung pada tingkat bunga simpanan. Mirza menggambarkan bahwa, dalam hal ini, kebanyakan orang kaya tidak akan menaruh uang di bank jika suku bunga acuan BI di bawah angka inflasi. Misalnya, jika inflasi mencapai 5%, maka bunga yang diberikan oleh BI harus di atas 5% agar menarik perhatian. Namun, bagi nasabah kecil, jika suku bunga acuan berada di bawah angka inflasi, mereka justru tidak memilih menaruh uang di bank, yang membuka keberlanjutan dalam keuangan pribadi.
Sebagai contoh, Mirza menekankan bahwa setelah penurunan suku bunga acuan dari 6,5% pada Juni 2016 menjadi 1%, maka sistem keuangan di tengah masa ekonomi yang sedang mengalami perubahan akan menjadi lebih kompleks. Namun, untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat, BI berharap bahwa perbankan dapat merespons reformasi kebijakan operasi moneter baru yang diberikan secara formal oleh pemerintah dan perbankan sekarang. Ini merupakan langkah penting dalam pengelolaan sistem keuangan nasional.
Saat itu, terdapat perubahan kebijakan operasi moneter yang diimplementasikan oleh BI, yakni perubahan suku bunga acuan dari BI Rate menjadi BI 7-day Reverse Repo Rate. Namun, proses ini diberikan pada tanggal 19 Agustus 2016, dan di waktu yang sama, BI akan mulai mengimplementasikan suku bunga baru tersebut. Selama periode 2016, BI 7-day Reverse Repo Rate berada pada level 5,25% dan BI Rate pada level 6,5%. Sementara itu, suku bunga Deposit Facility adalah 4,5%, dan suku bunga lending facility mencapai 7%.
Mengingat hal ini, perlu dilakukan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan sistem keuangan, baik dari sisi bunga simpanan maupun kredit. Mirza menekankan bahwa, dalam konteks ini, kebijakan BI harus lebih aktif dalam membangun kepercayaan dan keandalan dalam menjaga stabilitas ekonomi. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh BI, karena kondisi ekonomi di masa ini masih tergantung pada pengelolaan kebijakan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem simpanan dan kredit.











