Blog Web & Deep Insights

Tax Amnesty Dibatalkan, Negara Tak Akan Bangkrut

Tax Amnesty Dibatalkan Negara Tak Anggota Komisi XI DPR-RI, Ecky Awal Mucharam, mengungkapkan bahwa gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak (tax amnesty) yang diklaim oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak akan merugikan negara jika digunakan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pernyataan yang diberikan di Jakarta, Kamis, 14 Juli 2016, Ecky menyoroti pentingnya peran rakyat kecil dalam sistem penerimaan negara. Menurutnya, kontribusi warga terhadap pajak sangat besar dan penting untuk mengurangi dampak pengaruh sistem pajak yang tidak tepat.

Menurut Ecky, jika gugatan tax amnesty tersebut dikabulkan, maka tidak akan menyebabkan negara bangkrut, meskipun secara fiskal negara masih terjebak dalam defisit. Ia mengatakan bahwa tanpa nasionalisme, individu-individu yang mengorbankan kepentingan rakyat menjadi pihak yang memungkinkan keuntungan pribadi dan pengeluaran negara terkendala. Namun, rakyat kecil tetap berkontribusi besar terhadap sistem pemerintahan melalui pajak pertambahan nilai (PPN), yang mencakup 10% dari harga barang yang dibeli. Dengan angka terbaru lebih dari 100 juta orang wajib pajak yang telah memenuhi kewajiban, maka pentingnya penggunaan aturan yang memungkinkan penerimaan negara terus diperhatikan.

Ecky menyebut bahwa bagian lain dari penerimaan negara yang besar berasal dari pengusaha yang membayar pajak penghasilan (PPh), yaitu pelaku pembayar pajak yang paling patuh. Ia menyatakan bahwa kedua komponen tersebut terus menjadi tulang punggung dari anggaran pendapatan negara (APBN). Selain itu, ia mengajukan perhatian kepada kelompok yang memiliki aset di luar negeri dengan jumlah sekitar Rp11.000 triliun, hanya terdapat 6 ribu orang. Dalam konteks ini, Ecky menyatakan bahwa jumlah orang tersebut dapat dianggap sebagai pengemplang pajak, karena tidak melapor dan menghindari peraturan pajak yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Menurut Ecky, UU tax amnesty dirancang untuk mengampuni pengemplang pajak. Namun, ia menilai bahwa jika aset di luar negeri yang bernilai Rp11.000 triliun diketahui, maka pihak-pihak tersebut akan dikenai denda yang cukup besar. Dalam aturannya, denda tersebut bisa mencapai 30% atau sebesar Rp3.300 triliun. Ecky juga menyebutkan bahwa, dalam proses pemeriksaan, para pihak yang tidak melaporkan asetnya bisa dikenai tindak pidana perpajakan dan harus membayar uang tebusan sebanyak empat kali lipat. Ia menginginkan pemerintah memiliki data yang cukup baik untuk menarik pengemplang pajak besar dan memperjelas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses legalisasi.

Saat penutupan, Ecky mengatakan bahwa masyarakat masih perlu memperhatikan bahwa pemerintah memiliki data yang bisa digunakan untuk menarik kelompok-kelompok pengemplang pajak besar. Ia meminta agar Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan seluruh atau sebagian gugatan judi yang diajukan. Dalam kesimpulan, Ecky mengatakan bahwa proses tersebut masih berlangsung dan perlu diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah dan lembaga kebijakan.

Terakhir, Ecky mengatakan bahwa untuk membantu proses ini, langkah berikutnya yang harus diambil adalah memastikan keberlangsungan dan kejujuran proses kebijakan terhadap pelanggaran perpajakan. Langkah tersebut termasuk pengawasan terhadap keuangan pemerintah dan perlindungan hak asasi rakyat yang terganggu oleh sistem kebijakan pajak yang terus memungkinkan terjadi keterbatasan. Selain itu, perlu adanya perbaikan dalam sistem keterbukaan informasi pajak, agar rakyat kecil terhindari dari dampak negatif dari pengambilan kebijakan yang dianggap tidak transparan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *