Reposisi Bi Rate Emisi 7 Bank Indonesia (BI) mengambil langkah penting dalam pengembangan sistem moneter dengan menerapkan suku bunga acuan baru berupa BI 7-day Reverse Repo Rate pada 19 Agustus 2016. Penerapan kebijakan ini menjadi bagian dari perubahan struktur sistem perbankan yang secara resmi diperkenalkan pada saat pelaksanaan Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diselenggarakan di Jakarta pada hari Senin, 15 Agustus 2016. Dalam pengumuman tersebut, Gubernur BI, Agus DW Martowardojo, menyatakan bahwa kebijakan baru ini telah berjalan dengan baik dan telah dilakukan persiapan yang matang.
Pada saat pelaksanaan RDG, bank sentral menginformasikan bahwa BI 7-day Reverse Repo Rate akan digunakan sebagai suku bunga acuan baru yang menggantikan BI Rate. Dengan demikian, sistem perbankan Indonesia akan menerima transmisi kebijakan moneter secara lebih efektif melalui penggunaan metode ini. Sistem ini diharapkan dapat membantu mendorong keteraturan dalam pengawasan suku bunga per bank dan memungkinkan transisi dari suku bunga tradisional ke sistem yang lebih modern dan efisien. Dalam keterbatasan informasi yang tersedia, poin ini menjadi perlu dikaji lebih dalam oleh para pemangku kekuasaan di dalam sistem perbankan.
Untuk memastikan koordinasi yang optimal, BI telah bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam proses pengembangan kebijakan tersebut. Kedua pihak saling memperhatikan kondisi ekonomi makro dan terkait dengan kinerja keuangan yang terjadi saat masa sebelumnya. Gubernur BI menyebutkan bahwa kebijakan BI 7-day Reverse Repo Rate di masa mendatang tidak akan dianggap secara berbeda dari suku bunga sebelumnya, namun akan dijelaskan secara lebih terbatas. Namun, penjelasan ini belum mengungkapkan dengan pasti apakah suku bunga akan tetap pada level 5,25% atau diturunkan lebih lanjut. Kedua pihak terus berkoordinasi untuk memastikan keberhasilan dalam penerapan kebijakan ini yang membutuhkan dukungan terhadap kebijakan ekonomi masa depan. Dalam keterangan ini, penjelasan tentang perubahan kebijakan tidak secara langsung dapat diakses melalui data yang tersedia saat ini.
Agus DW Martowardojo juga menyampaikan bahwa pemerintah pusat mengharapkan perluasan informasi dan komunikasi yang terus menerus dalam waktu depan terutama dalam rapat dewan gubernur. Hal ini menjadi salah satu dari langkah yang perlu dilakukan oleh pihak terkait dalam perencanaan kebijakan moneter. Dengan melihat kondisi makro Indonesia, anggaran pemerintah, dan keputusan-keputusan yang telah diambil sebelumnya oleh BI dan OJK, pemerintah harus mengambil keputusan dengan lebih akurat dan berdasarkan penilaian yang lebih matang. Ini juga memungkinkan kebijakan ini muncul dalam konteks terhadap penekanan terhadap ekonomi yang terus mengalami keterbatasan. Penambahan keterampilan terhadap kebijakan ini dapat dilakukan dalam konteks kebijakan lain maupun terkait dengan penerapan kebijakan pemerintah lainnya. Keterampilan terhadap pengaturan ekonomi menjadi perlu dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat.
Untuk memperoleh hasil terbaik dalam penggunaan sistem kebijakan baru yang dimaksud, pelaksanaan penerapan kebijakan harus terus dilakukan secara terbuka dan terpercaya oleh publik. Ini menjadi salah satu kepentingan dalam penerapan sistem kebijakan moneter. Dengan menerapkan kebijakan ini secara lebih khusus dan secara terbuka, pemerintah dapat menjalankan penerapan tersebut dengan kepercayaan yang lebih tinggi. Penerapan kebijakan ini juga dilakukan setelah peraturan terkait dengan pengaturan kebijakan di dalam sistem ekonomi Indonesia. Dari keputusan ini, muncul beberapa kebijakan lainnya yang akan dilakukan dalam waktu depan. Selain itu, sistem kebijakan akan menjadi lebih berbasis keputusan yang lebih matang dalam waktu yang lebih panjang.
Setelah dilakukan perubahan pada sistem kebijakan ini, pemerintah harus melakukan penilaian terhadap efektivitas kebijakan tersebut dalam konteks ekonomi saat ini. Penilaian ini membutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak termasuk pemerintah, pihak eksternal seperti OJK, perbankan, serta investor. Penilaian dilakukan untuk mengevaluasi apakah kebijakan tersebut dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem moneter yang terus mengalami perubahan kebijakan. Selain itu, pemerintah harus mengadakan penilaian terhadap peningkatan kebijakan dan keterbatasan dalam sistem ekonomi yang diterapkan dalam masa mendatang. Untuk menyelaraskan dengan kebijakan ekonomi yang diperlukan, pemerintah perlu memiliki kepercayaan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh OJK dan perbankan yang beroperasi di dalam sistem moneter.











