Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik pada perdagangan Rabu, 1 Juni 2016, meskipun pasar saham global mengalami pelemahan sebesar 4,984 poin atau 0,10% ke level 4.801,853. Meski harga saham Indonesia mencapai kisaran 4.792–4.836, pertumbuhan ekonomi yang mengalami penurunan pada bulan April di AS dan krisis pada industri pertambangan di Eropa menimbulkan ketidakpastian pada posisi pasar.
Menurut riset Investa Saran Mandiri, IHSG pada hari tersebut mengalami penurunan sebesar 39 poin atau 0,81% seiring kegiatan pasar saham yang melibatkan transaksi beli bersih sebesar Rp317 miliar. Kedua indeks ini menunjukkan bahwa pasar saham Indonesia sedang bergerak di tengah keadaan kinerja ekonomi yang terpantau dari berbagai faktor eksternal.
Pasar saham Amerika Serikat berada dalam kondisi variabel pada perdagangan tersebut, dengan penurunan kejadian konsumen yang mengalami peningkatan 1% pada bulan April. Perkembangan ini disebabkan oleh keberhasilan peningkatan upah dan peningkatan bekerja yang membuka ruang bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, pergerakan ini menunjukkan bahwa pasar saham Amerika tidak mengalami kenaikan secara langsung, sehingga memengaruhi dinamika harga saham secara jangka panjang.
Pasar saham kawasan Eropa, terutama di negara-negara seperti Inggris, mengalami penurunan yang diperkuat oleh pergerakan saham pertambangan. Kondisi ini terjadi karena penguatan dolar yang menyebabkan harga logam turun, yang berdampak terhadap manajemen keputusan saham dalam kawasan tersebut. Meskipun industri pertambangan mengalami penurunan, kejadian ini menjadi faktor utama dalam pergerakan pasar saham di Eropa.
Dari dalam negri, tren inflasi yang mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dijadikan indikator penting dalam perhitungan ekonomi. Meski kondisi inflasi berkurang pada bulan Mei 2016 tercatat 0,19% bulanan dan 3,3% tahunan, hal ini merupakan hasil survei pemantauan harga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Angka tersebut dijelaskan sebagai refleksi dari perlambatan ekonomi Asia yang terus berlangsung di tahun 2016, yang tidak terjadi karena kebijakan BI melainkan oleh faktor eksternal lain seperti pertumbuhan ekonomi global.
Untuk memahami tren inflasi tersebut, data BPS lima tahun ke belakang juga diperhitungkan, menunjukkan rata-rata inflasi menjelang puasa berada di atas 0,5%. Angka inflasi bulanan di Juni 2015 mencapai 0,54%, Juni 2014 0,43%, Juni 2013 1,03%, Juli 2012 0,7%, dan Juli 2011 0,67%. Angka-angka ini menunjukkan bahwa inflasi di tahun-tahun terakhir lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya, mengindikasikan perbaikan ekonomi yang terjadi pada masa itu. Namun, perhatian masih tetap diperlukan terhadap kondisi inflasi yang perlu diwaspadai pada kuartal kedua tahun 2016.
Secara keseluruhan, penurunan harga saham pada IHSG dan pertumbuhan inflasi yang lebih lambat di Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi masih terus berkembang pada keterkaitan dengan kebijakan ekonomi pemerintah. Namun, dalam kebijakan masa depan, perlu diingat bahwa pengembangan ekonomi harus dipertimbangkan dalam konteks kinerja global, dengan peningkatan inflasi yang lebih lambat sebagai hasil dari kebijakan ekonomi. Langkah berikutnya adalah mengoptimalkan kebijakan pemerintah dengan peninjauan terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan mengurangi risiko inflasi di masa mendatang.











