Gugatan Pajak Amnesty Seiring dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak) yang resmi disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 11 Juli 2016, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyerang kebijakan tersebut dalam gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi. Ini menggambarkan pernyataan Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, yang mengatakan bahwa tidak ada penjelasan terkait keberadaan gugatan yang disampaikan oleh LSM. Namun, hal tersebut tidak mengurangi ketegangan terhadap kebijakan yang dianggap berpotensi mengganggu proses administratif dan kepatuhan hukum.
Sejumlah LSM, termasuk Yayasan Satu Keadilan, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, dan empat warga negara lainnya, menggugat UU Pengampunan Pajak karena menganggap adanya pengaduan hukum terhadap kebijakan tersebut. Gugatan yang dilakukan dilakukan dalam beberapa pasal di antaranya: pasal 1 angka 1, pasal 3 ayat (1), (3) dan (5), pasal 4, pasal 11 ayat (2) dan (3), pasal 19, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Dalam gugatan tersebut, LSM menyoroti keberadaan pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang tanpa sanksi administratif dan pidana, serta mengharuskan pembayaran uang tebusan sesuai dengan undang-undang. Ini menjadi satu dari keempat bagian yang diduga memiliki potensi menimbulkan perhatian terhadap kebijakan hukum ini.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah pasal 22, yang membahas tentang impunitas terhadap pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak. Berdasarkan ketentuan dalam UU tersebut, pihak yang berwenang dalam pelaksanaan pengampunan pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau dituntut secara perdata maupun pidana, baik jika melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. LSM menganggap bahwa kebijakan ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang, terutama dalam konteks pelaksanaan kebijakan oleh pejabat negara. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi keberlangsungan sistem pengampunan pajak yang dapat terjadi jika terjadi kegagalan atau keberlangsungan penerapan kebijakan yang terdampak oleh ketidakpemahaman hukum atau ketidakadilan.
Baca Juga:
Menurut Bambang Brodjonegoro, munculnya tindakan gugatan oleh LSM bukan lagi menjadi sesuatu yang terlalu berlebihan. Hal ini merupakan keterbatasan terhadap kebijakan negara yang telah diterapkan dalam menghadapi masalah penerimaan pajak yang masih rendah. Oleh karena itu, dirinya meminta semua pihak untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, menghindari kepentingan pribadi, golongan, atau asing. Bambang juga menyampaikan bahwa ini merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam rangka menjaga integritas sistem keuangan nasional. Penggugatan yang dilakukan oleh LSM merupakan pengingat terhadap keberlangsungan implementasi kebijakan yang dianggap berpotensi mengganggu proses kebijakan pemerintah lainnya. Namun, menurut pemahaman kewenangan dan kepentingan pemerintah, tidak dapat dianggap sebagai langkah yang mengganggu hukum.
Sebagai bentuk komentar terhadap pengajuan gugatan oleh LSM, Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa pengaduan atau gagasan gugatan ini sangat perlu dipertimbangkan secara terbuka dan objektif. Maka dari itu, diharapkan semua pihak, termasuk LSM, untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, menghindari kepentingan pribadi, golongan, atau asing. Namun, perlu dipahami bahwa proses ini juga dapat dianggap sebagai bagian dari sistem hukum yang harus tetap menghindari pengaruh kekuasaan. Penerapan dan implementasi kebijakan keuangan yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebenarnya adalah langkah penting dalam mencapai keseimbangan keuangan negara. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu diambil secara hati-hati dan didukung oleh semua pihak. Pemerintah dan masyarakat harus saling terlibat dalam mengamati dan memberikan saran yang objektif dan terbuka dalam menjaga integritas sistem keuangan. Terakhir, setiap tindakan harus mempertimbangkan bahwa sistem keuangan harus berjalan dengan menghindari kegagalan, kesalahan, atau kekeliruan dalam pelaksanaan kebijakan negara.











