Blog Web & Deep Insights

RPP Diperlukan Konsistensi dengan Perjanjian Internasional

Rpp Diperlukan Konsistensi Dengan Perjanjian Tahun 2016, saat menandatangani rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang penyelesaian sengketa investasi, Indonesia menyoroti tantangan yang dihadapi oleh negara-negara di wilayah investasi internasional. Pemerintah mengarahkan kebijakan dalam bentuk mekanisme mediasi sebelum gugatan investor dibawa ke lembaga peradilan, serta memastikan adanya proses arbitrase dalam negeri atau luar negeri tergantung pada jenis investor yang bersangkutan.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyampaikan bahwa penyelesaian sengketa investasi yang diatur dalam RPP harus disesuaikan dengan proses review Perjanjian Investasi Internasional (PII), terutama melalui Perjanjian Investasi Bilateral (BIT). Proses review ini telah memunculkan kekhawatiran terhadap mekanisme gugatan investor, yang sering kali berbentuk kasus hukum antara negara dan investor asing.

Sejak 2013, Indonesia telah menghentikan 20 Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) karena menilai potensi terjadinya sengketa investasi yang melibatkan berbagai aspek hukum. Namun, keputusan ini tidak berarti tidak adanya rancangan hukum yang seharusnya dilakukan melalui pemenuhan peraturan yang lebih terukur. Selain itu, mekanisme gugatan investor yang diatur dalam PII telah diterapkan di berbagai perjanjian bebas perdagangan, seperti Perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) dan ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA), menjadikan perlu memperhatikan konsistensi sistem kebijakan internasional ini.

Perlu diingat bahwa kasus yang menjadi fokus perhatian di masa kini, seperti Gugatan Churcill Mining, Ali Rafat, dan Newmont, didasari atas Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) antara Indonesia dengan Belanda dan Inggris. Bukan Undang-Undang Penanaman Modal, tetapi sifat sengketa ini memang tergantung pada ruang hukum internasional. Maka dari itu, ketidaksesuaian dalam pelaksanaan peraturan hukum tersebut menjadi perlu diingat bahwa pihak investor tidak memperoleh hak kepastian hukum jika tanpa persetujuan dari pemerintah.

Tujuan pengembangan RPP ini adalah untuk mencegah pengadilan internasional, seperti ICSID, terutama di masa depan saat Indonesia bergabung ke perjanjian bebas perdagangan seperti TPP. Ini menjadi tantangan yang harus diperhatikan, karena dalam kasus investor dari negara terkait, penggugatan bisa dilakukan secara langsung melalui ICSID dengan dasar hukum dari PII. Sebagai tambahan, ketentuan consent letter yang diberikan oleh pemerintah menjadi salah satu syarat kunci dalam penggunaan arbitrase oleh investor asing. Syarat ini telah ditegaskan dalam Pasal 2 UU No 5/1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, serta Pasal 32 Ayat 4 UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Keberadaan RPP, dalam rangka penyusunan peraturan pemerintah yang baru, akan memberikan kebijakan lebih terjangkau bagi pemenuhan sistem hukum yang memperhatikan ketentuan dari undang-undang nasional. Namun, jika tidak disesuaikan dengan proses review PII, maka kebijakan tersebut akan terancam keberlangsungan kualitas hukum. Dalam konteks ini, ketidaksesuaian dengan sistem PII dapat mengakibatkan kehilangan kepercayaan dari investor, serta menghambat proses pengembangan bisnis. Juga terkait dengan kebijakan pengembangan pemerintah yang lebih terbuka terhadap kepercayaan ekonomi di masa depan.

Karena Indonesia sejak 2013 telah menghentikan 20 negara dari 66 BIT, maka RPP terkait dengan mekanisme ini menjadi perlu ditinjau kembali. Dengan demikian, pemerintah harus mempertahankan kebijakan tentang persyaratan consent letter agar penggunaan mekanisme arbitrase tidak menjadi langkah yang tidak terduga. Selain itu, ketidaksesuaian sistem ini dapat memengaruhi kemampuan pemerintah mengurusi dan mengambil keputusan dalam konteks investasi global. Proses review PII ini mengarah pada pengembangan dokumen penerbitan perjanjian yang menyelesaikan keputusan mengenai ketentuan investasi yang telah diterima, seperti Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M).

Pada kenaikan potensi terjadinya sengketa investasi yang berdampak secara ekonomi dan sosial, pengembangan sistem kebijakan ini menjadi kepentingan dalam pengambilan keputusan pemerintah. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang menggambarkan peluang untuk meningkatkan kepercayaan investor dan menjaga integritas sistem investasi, maka pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk membentuk struktur hukum yang dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keadilan hukum secara global. Dari segi strategis, ini merupakan langkah penting dalam menghadapi tantangan global terhadap investasi, termasuk dalam kebijakan pengamanan perjanjian investasi yang dipakai oleh negara-negara maju dan berkembang terus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *