Sejak awal tahun 2016, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan menaikkan suku bunganya pada bulan Juni 2016. Kedekatan dengan kebijakan ini menggerakkan investor global, termasuk di Indonesia, yang merespons dengan berbagai pergerakan pasar uang. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan kondisi ekonomi yang stabil dalam beberapa waktu depan, meski The Fed memberikan sinyal penerapan kebijakan yang lebih konsisten.
Menurut Direktur Departemen Pengelolaan Moneter BI Pribadi Santoso, keputusan The Fed untuk naikkan suku bunganya pada Juni 2016 tidak terlalu menyentuh kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Pernyataan tersebut dijelaskan sejalan dengan perhitungan BI yang telah terbentuk sejak awal tahun. “Itu enggak pengaruh dalam konteks proyeksi. Kita sudah hitung di awal tahun. Tapi kalau pun terjadi reaksi masih managable,” ujarnya di Tangerang, Sabtu, 28 Mei 2016.
Pernyataan dari Yellen beserta jajaran pejabat The Fed lainnya pada tahun ini mengalami variasi dalam konteks pemikiran investor. Awalnya, pernyataan kenaikan suku bunga diperkirakan hanya akan terjadi pada semester II, karena kondisi data ekonomi AS tidak sesuai dengan proyeksi. Namun, pada bulan April, arah kebijakan Federal Reserve berubah, yang disebabkan oleh reaksi investor dari berbagai negara termasuk Indonesia. Perubahan ini menyebabkan dana yang diambil oleh investor dari berbagai negara, termasuk Indonesia, mengalami penurunan terhadap nilai tukar Rupiah dalam tiga pekan terakhir.
Karena itu, Pribadi menilai, bahwa kebijakan Federal Reserve dalam mengambil langkah peningkatan suku bunga bisa berdampak lebih besar pada pergerakan pasar uang. “The Fed ngomong kenaikan akan gradual. Mereka masih mencermati espektasi investor, impact-nya seperti apa. Kalau oke-oke saja bisa Juni, kalau enggak, mungkin Juli atau September,” jelas Pribadi.
Biasanya, kenaikan suku bunga AS akan diikuti dengan suku bunga negara lain untuk menjaga nilai tukar Rupiah tetap stabil. Namun, BI sebenarnya sudah memperkirakan dan menyiapkan lebih dulu sejak beberapa bulan lalu. “Kalau suku bunga AS naik, maka akan ada capital outflows, Rupiah tertekan, BI intervensi, tarik likuiditas, pasarnya ketat. Tapi BI sudah menurunkan BI rate jauh-jauh hari, pelonggaran sudah dilakukan. BI sudah antisipasi,” tutup Pribadi.
Tindakan BI yang telah dilakukan secara proaktif memberikan ruang aman dalam menghadapi risiko. Meskipun demikian, kondisi pasar uang masih terjaga dengan baik. Keterlibatan masyarakat yang menurut BI telah ditangani secara proaktif membuat perubahan terhadap kondisi ekonomi Indonesia tetap terjaga. Hal ini berarti BI telah menyusun prioritas dengan strategi yang tepat untuk mengurangi risiko dampak negatif dari perubahan suku bunga AS. Selain itu, penjelasan tersebut juga membuka peluang potensi perubahan kebijakan di masa depan dalam konteks ekonomi Indonesia yang terus berkembang.
Karena perubahan suku bunga yang diperkirakan oleh The Fed pada Juni 2016, serta kondisi ekonomi yang mengalami variasi, BI memperhatikan dampaknya secara lebih intensif dalam memilih strategi pelonggaran yang tepat. Namun, untuk mengatasi risiko pasar yang meningkat, BI juga akan terus memonitor kondisi ekonomi terutama dalam aspek keuangan dan nilai tukar Rupiah secara lebih lanjut. Implikasi dari perubahan kebijakan ini akan berlangsung dalam jangka panjang. Oleh karena itu, BI akan tetap melaksanakan perencanaan dan peninjauan terhadap perubahan suku bunga tersebut secara strategis.











